TANGGAL 12 Februari 2018 lalu, Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) mengesahkan revisi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR,
DPR dan DPD dan DPRD (RUU MD3). Pengesahan sejatinya tak berjalan mulus. Selain
PPP dan Nasdem yang walk out, pro kontra juga mengemuka saat revisi UU MD3
tersebut masih dalam tahap pembahasan. Pro kontra dikarenakan revisi UU MD3
tersebut berisi beberapa pasal yang berpotensi menjadikan aggota DPR sebagai
lembaga yang antikritik dan kebal hukum.
Salah satu pasal yang mengundang kontroversi adalah pasal
122 huruf K UU MD3. Pasal tersebut berbunyi: (MKD bertugas) mengambil langkah
hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau
badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Tak sedikit masyarakat yang resah. Maka, sejumlah pihak
masyarakat pun mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Upaya
masyarakat membuahkan hasil. MK akhirnya membatalkan dan mengoreksi beberapa
pasal kontroversial dalam UU MD3. Salah satu pasal yang dibatalkan demi hukum
adalah pasal 122 huruf K. Putusan ini diambil oleh MK dengan suara bulat dalam
sidang putusan uji materi UU MD3 di Gedung MK, Jakarta, Kamis (28/6/2018).
Sebagai rakyat yang memiliki wakil di DPR, saya
melihat pasal ini semakin tidak menunjukkan perlindungan terhadap warga negara
yang melakukan kontrol terhadap DPR. DPR sepertinya sudah mulai kehilangan
semangat perwakilan rakyat pada dirinya dan pada lembaga tempatnya bernaung.
Sesuai dengan namanya DPR, “Dewan Perwakilan Rakyat”, artinya mereka adalah
perwakilan rakyat. Sebagai wakil rakyat, mereka seharusnya memperjuangkan
rakyat yang mereka wakili agar menjadi warga negara yang sejahtera sesuai
dengan janji-janji kampanyenya.
Tapi jika hanya karena kritik saja, DPR akan
mengambil langkah hukum, maka aturan ini semakin memperjelas posisi DPR yang tidak
mau mendapat kritik dari rakyat. Hal ini tentu saja merusak sistem demokrasi.
Saya melihat, DPR sudah main kasar dengan rakyat yang mereka wakili, rakyat
yang seharusnya diperjuangkan. Bukan sebaliknya di jerat dengan pasal karet.
Bapak dan Ibu anggota dewan, mohon jangan bermain
kasar. Kami adalah rakyat yang kalian wakili, rakyat yang seharusnya kalian
perjuangkan. Kritik itu sangat perlu bagi setiap individu hingga lembaga
pemerintahan seperti DPR. Kritik terkadang menyakitkan, namun, jika suatu
kritik kita tanggapi dengan pemikiran positif, saya yakin kritik itu akan
membangun dan menjadi suatu agen perubahan untuk kemajuan.
Yakinlah Bapak dan Ibu, kalian hanya dikirik dan
tidak akan diperlakukan layaknya anggota dewan di Ukraina, Viktor Yanukovich.
Yanukovich, anggota dewan dari Partai Pembangunan Ekonomi harus merasakan
dilempar sampah dan akhirnya dibuang ke tempat sampah oleh rakyat yang marah
terhadap kinerja DPR di Ukraina, pada April
2016 lalu. Rakyat Ukraina menuding DPR tidak bekerja dengan baik dan
tidak dapat memperjuangkan aspirasi rakyat. Saya percaya, rakyat Indonesia
tidak akan sampai senekat rakyat Ukraina.
Bapak dan Ibu anggota DPR, pasal 122 huruf K sudah
dibatalkan oleh MK. Bekerjalah dengan sungguh-sungguh. Perjuangkanlah kami,
rakyat yang kalian wakili dengan tulus. Saya percaya, tak akan ada kritik jika
Bapak dan Ibu sungguh-sungguh dalam bekerja. Kalaupun ada kritik, tak ada
salahnya, sepanjang memang membangun dan tujuannya baik. Kritik boleh, asalkan
bukan nyinyir tak beralasan yang semata-mata karena didasari kebencian.(*)