PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada)
serentak akan dilaksanakan tanggal 27 Juni 2018 di 171 daerah di Indonesia.
Ke-171 daerah tersebut terdiri dari 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten.
Dari 17 provinsi yang menggelar Pilkada, provinsi Sumatera Utara (Sumut) adalah
salah satu diantaranya.
Jika bicara tentang Pilkada, maka akan
berbicara tentang pemimpin yang dihasilkan oleh produk Pilkada tersebut. Dan
jujur saja, selama dua kali pelaksanaan Pilkada secara langsung, Sumut seperti
kena sialnya saja. Pasalnya, dua kali pemimpin yang dilahirkan oleh proses
Pilkada, justru tidak amanah dan meringkuk di penjara KPK atas tuduhan korupsi.
Kedua pemimpin tersebut adalah Syamsul Arifin yang memenangi Pilkada Gubernur
tahun 2008 dan Gatot Pujo Nugroho yang memenangi Pilkada Gubernur tahun 2013.
Juara
Korupsi
Bicara soal korupsi, Sumut memang
tergolong juara. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat di tahun 2017
terdapat 40 kasus korupsi ditangani oleh aparat penegak hukum dengan total
kerugian negara mencapai Rp 286 miliar. Hasil ini menempatkan Sumut menduduki
peringkat ke 3 daerah terbesar angka korupsinya di Indonesia, setelah Jawa
Timur dan Jawa Barat. (Analisa, Senin, 4 Juni 2018)
Padahal Sumatera Utara merupakan salah
satu provinsi yang memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia yang
menjanjikan. Masyarakatnya yang majemuk merupakan keunggulan untuk membangun
Sumatera Utara menjadi lebih baik. Namun apa yang terjadi? Banyak kekecewaan
yang muncul dalam benak warga Sumut melihat pemimpin daerahnya yang terdahulu.
Sudah dua kali gubernur Sumut diproses oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena
terjerat kasus suap dan korupsi. Hal ini mengakibatkan semakin tipisnya
kepercayaan rakyat kepada pemimpinnya bahkan juga kepada calon-calon pemimpin
yang muncul di Pilkada.
Padahal seperti yang disebutkan di awal,
Sumatera Utara bukanlah provinsi yang minim potensi. Semua ada di sini, mulai
dari potensi pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, perikanan,
pariwisata, hingga pertambangan. Seharusnya potensi-potensi ini digali
semaksimal mungkin untuk kemajuan provinsi Sumatera Utara sesuai dengan koridor
dan peraturan yang berlaku.
Seharusnya juga, pemimpin Sumatera Utara
berpikir keras untuk mengolah potensi-potensi luar biasa ini agar menambah Pendapatan
Asli Daerah (PAD). Jika PAD bertambah, maka hal yang wajar jika pendapatan
kepala daerah akan naik. Di sisi lain, kondisi masyarakat di berbagai sektor,
mulai dari kesehatan, pendidikan, gizi, kepastian hukum, dan lain-lain akan
serta merta membaik menuju kemakmuran. Kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin
negara tentu saja ikut membaik.
Tak salah kalau menyebut Sumatera Utara
adalah provinsi yang “kurang beruntung”, dalam hal pemimpin. Meski demikian, warga
Sumatera Utara tentu saja masih berhak memiliki harapan akan lahirnya sosok
yang ideal untuk memimpin daerahnya. Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
merupakan esensi dari Indonesia sebagai negara demokrasi. Di mana dalam
pelaksanaan Pilkada ini, rakyat turut berpartisipasi dalam menentukan pemimpin
pilihannya.
Pemimpin
Amanah
Lalu seperti apakah pemimpin yang
diharapkan akan memimpin Sumatera Utara? Kuncinya hanya ada satu yakni pemimpin
yang amanah. Amanah secara etimologis berasal dari bahasa Arab dalam bentuk
mashdar dari “amina- amanatan” yang berarti jujur atau dapat dipercaya. Amanah
juga mempunyai akar kata yang sama dengan kata iman dan aman.
Sejatinya esensi kepemimpinan itu ialah
kapabilitas dalam memegang kepercayaan, pertanggungjawaban, responsibilitas dan
akuntabilitas. Responsibilitas merujuk kepada tanggung jawab melayani atau
'kualitatif' sedangkan akuntabiltas adalah soal perhitungan tanggung jawab
'kuantitatif'nya. Karena itulah pemimpin disebut “leader" bukan sekedar “dealer".
Artinya, pemimpin yang amanah harus
hadir di depan, selangkah lebih maju dan siap menjadi panutan masyarakat yang
dipimpinnya, bukan melakukan “deal-deal" semata hanya untuk kepentingan
pribadi ataupun kelompoknya. Bukan pula menggerogoti APBD untuk kepentingan
pribadi ataupun kelompoknya. Pemimpin yang amanah adalah pemimpin yang bekerja
dengan setulus hati untuk kemakmuran rakyat dan kemajuan Sumatera Utara.
Pemimpin yang amanah tidak hanya duduk
di kursi pimpinan saja, tetapi pemimpin yang juga mampu berbaur dengan rakyatnya.
Tak hanya berbaur tetapi juga mendengarkan aspirasi rakyat serta memberikan
solusinya secara cepat dan tanggap.
Harapan akan lahirnya pemimpin yang
amanah ini sebenarnya tidak muluk-muluk, karena provinsi ini sudah cukup lama
tertinggal dibandingkan daerah lain baik dari sisi infrastruktur, pelayanan
kesehatan, pendidikan, dan perekonomian. Di Pilkada Gubernur nanti, rakyat
Sumut punya dua pilihan calon yakni yakni Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah dan Djarot
Saiful Hidayat-Sihar Sitorus. Saat ini, pilihan ada di tangan masyarakat Sumut
untuk memilih calon yang terbaik yang dapat membawa Sumatera Utara menuju
provinsi yang maju.
Jujur, masyarakat sebenarnya tidak
menuntut sesuatu yang berlebihan dari pemimpinnya. Masyarakat pada intinya hanya
menuntut sebuah kesejahteraan yang memihak pada mereka. Kesejahteraan ini
biasanya berupa kesejahteraan dalam hal ekonomi. Misalnya ketersediaan
bahan-bahan pokok dengan harga yang stabil dan terjangkau. Selain itu harga
bahan bakar minyak yang murah juga menjadi harapan mereka. Tak hanya
kesejahteraan saja, masyarakat juga mengharapkan fasilitas pendidikan yang
baik. Seperti sekolah gratis hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Mereka
berharap anak mereka bisa bernasib lebih baik dan lebih sejahtera dibandingkan
mereka. Masyarakat juga menginginkan fasilitas dan pelayanan kesehatan yang
baik. Jangan sampai fasilitas kesehatan justru membuat mereka semakin sakit
karena buruknya pelayanan.
Belajar dari pemaparan Indonesia
Corruption Watch (ICW) sebelumnya, maka kita sepakat bahwa pemberantasan rantai
korupsi harus diawali dari pemilihan calon gubernur bersih di Pilkada 2018 ini.
Jangan sampai gubernur (baru) nanti kembali terjerat kasus korupsi dan mencatat
hat-trick gubernur koruptor. Hat-trick dimaksud merajuk pada dua mantan
gubernur Sumut sebelumnya yakni, Syamsul Arifin (2008-2010). Syamsul dijatuhi
pidana penjara lantaran terbukti korupsi saat masih menjabat sebagai Bupati
Langkat periode 1999-2004 dan 2004-2008.
Kemudian mantan Gubernur Sumut
selanjutnya adalah Gatot Pujo Nugroho (2010-2014). Diketahui, Gatot dinyatakan
bersalah dan dijatuhi hukuman penjara karena terbukti memberikan gratifikasi
dengan nilai total mencapai Rp 61.835.000.000 terhadap 38 anggota DPRD Sumut
periode 2009-2014 dan 2014-2019.
Karena itulah, momentum Pilkada 2018 ini
menjadi titik krusial bagi masyarakat Sumut, agar tidak jatuh untuk ketiga
kalinya di lobang yang sama. Sebelumnya sudah ada dua pemimpin (gubernur) hasil
Pilkada yang “jatuh” karena kasus korupsi. Jika pemimpin jatuh, maka rakyat
yang dia pimpin pun pasti ikut jatuh. Jadi, marilah bijak dan selektif memilih
pemimpin ke depan. Pelajarilah rekam jejak pasangan calon sebelum menentukan
pilihan. Mari memilih pemimpin berdasarkan kinerjanya terdahulu dan program
kerjanya selama lima tahun ke depan, bukan berdasarkan suku, agama, dan status
sosialnya.(*)
Penulis
adalah mahasiswa Fakultas Pertanian Unika Santo Thomas Medan. Aktif di
Komunitas Menulisa Mahasiswa Unika Santo Thomas “VERITAS”