Postingan Populer

Selasa, 16 Juli 2019

Perempuan dan Pencapaian Ketahanan Pangan


Oleh : Ransoter Marbun

Pangan adalah kebutuhan dasar manusia dan paling utama di dalam hidupnya. Begitu pentingnya isu pangan ini, hampir setiap negara melalui pemerintahnya masing-masing mendahulukan pembangunan program pangan sebagai landasan bagi pembangunan sektorsektor lain.

(Sumber gambar :Google)

Jika berbicara soal pangan, maka berbicara tentang bagaimana ketahanan pangan. Setiap negara pun mempunyai program-program yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan, termasuk di Indonesia. Di Indonesia persoalan ketahanan pangan dikuatkan lewat UU No. 18 tahun 2012 tentang Pangan.

Dalam UU tersebut, disebutkan bahwa Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan".

Karena begitu pentingnya program ketahanan pangan ini, membuat banyak orang terlibat di dalamnya, khususnya sebagai pelaku (subjek), atau orang yang bekerja di bidang pangan. Tak hanya laki-laki, tetapi perempuan juga banyak yang terlibat bekerja dalam sektor pangan pangan.

Sebagai gambaran, data Bank Dunia menunjukkan bahwa partisipasi perempuan dalam produksi pangan cukup bervariasi. Di wilayah Pasifik mencapai 3871%. Pada tingkat ASEAN, Thailand menduduki posisi tertinggi menurut jumlah perempuan yang bekerja di sektor produksi pangan (60%). Posisi berikutnya, berturutturut ditempati oleh Indonesia (54%), Filipina (47%), dan Malaysia (35%).

Peran Penting Perempuan
Angka 54% jumlah perempuan Indonesia yang bekerja di sektor pangan ini, bukanlah angka yang kecil. Seperti apakah peran penting perempuan dalam sektor pangan ini di Indonesia? Kita sebenarnya bisa melihat dalam keseharian kita sendiri, betapa kelompok perempuan memiliki kontribusi yang tidak sedikit untuk ikut memenuhi ketahanan pangan, bahkan hanya untuk kelompok yang terkecil di sekitarnya, misalnya keluarga.

Jika di sebuah keluarga punya pekerjaan utama sebagai petani, maka biasanya perempuan punya kewajiban untuk turun (bekerja) ke lahan atau ladang pertanian, meskipun dalam keluarga tersebut ada suami atau anggota keluarga laki-laki lainnya.
Aktivitas perempuan ke lahan atau ke ladang ini tidak bisa dianggap sepele.

Dengan posisi Indonesia sebagai negara agraris yang membuat masyarakat Indonesia harus bergantung pada hasil pertanian, maka peran perempuan sangatlah vital dalam menghasilkan produk-produk pangandan pertanian.

Tak hanya di luar rumah, di dalam rumah tangga, perempuan adalah kunci penting dalam pencapaian ketahanan pangan rumah tangganya. Peran perempuan dalam menciptakan ketahanan pangan ini bisa dilihat dengan jelas, karena langsung berhubungan dengan kebutuhan primer keluarga.

Perempuan biasanya mempunyai pengetahuan yang lebih baik dibandingkan laki-laki dalam mengelola kebutuhan pangan di rumah, mulai dari mengelola jenis pangan yang akan di konsumsi, mengelola persediaan pangan, hingga mengatur nutrisi yang dibutuhkan anggota keluarga.

Di industri pangan, banyak perusahaan yang  bergerak di sektor pertanian dan pangan serta dalam produksinya melibatkan perempuan, maka tidak jarang ditemukan juga bahwa upah yang didapatkan oleh mereka (perempuan) acap kali tidak seimbang dengan upah laki-laki. Padahal pekerjaan yang dikerjakan oleh laki-laki sama saja dengan pekerjaan yang dikerjakan oleh perempuan.

Tiga hal di atas hanyalah contoh kecil saja. Masih banyak peran perempuan lainnya yang dapat dilihat dalam hal pencapaian ketahanan pangan. Tetapi dalam perkembangannya justru perempuan yang bekerja dalam sektor pangan, baik di luar rumah, maupun di rumah tangga, masih dianggap warga negara kelas dua. Tetap saja laki-laki yang masih mendominasi, walaupun perannya (laki-laki) belum begitu mendominasi. Banyak fakta memperlihatkan hal itu, misalnya dalam hal pengambilan kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam seperti lahan, atau dalam hal penentuan harga pangan yang akan dijual.
Pencapaian Ketahanan Pangan
Di tengah upaya pemerintah Indonesia dalam menciptakan ketahanan pangan, masalah-masalah pangan pun tetap terjadi, seakan tak  pernah usai. Meskipun Pemerintah Indonesia berupaya mengatasi masalah pemenuhan kebutuhan pangan dengan meningkatkan pasokan melalui peningkatan produksi pangan dan mengembangkan tanaman bernilai lebih tinggi, namun masih saja ada belasan juta penduduk Indonesia yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan pokoknya sehari-hari, terutama kebutuhan beras. Untuk tingkat dunia, menurut Badan Pangan Dunia, sekitar 925 juta penduduk mengalami kekurangan gizi di seluruh dunia pada tahun 2011.

Jika kondisi ini dibiarkan terus-menerus, maka masalah yang dihadapi sebenarnya tak hanya kelaparan dan kekurangan gizi lagi, tetapi juga berdampak kepada bagaimana mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang kuat, cerdas, dan berkualitas.

Dalam kerangka mencapai ketahanan pangan di Indonesia, penulis berpandangan, keberadaan sumber daya manusia (SDM) yang mengelola pangan tersebut harus menjadi prioritas semua pihak, terutama pemerintah. Perempuan adalah SDM yang menurut penulis sangat memadai untuk pencapaian ketahanan pangan ini.

Berdasarkan data dari FAO Focus yang dilansir oleh WHO dilaporkan tahun 2009, perempuan memproduksi 60%  80% pangan di sebagian besar negaranegara berkembang dan bertanggungjawab pada sebagian produksi pangan dunia. Sedangkan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2016 menyebutkan jumlah penduduk perempuan yang bekerja berjumlah sekitar 45,5 juta. Sektor Pertanian, Kehutanan, Perburuan, dan Perikanan masih menjadi sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja wanita, dengan menyerap 13,7 juta jiwa atau lebih dari 30 persen pekerja wanita.

Melihat data-data ini, langkah apa yang dapat dilakukan dalam rangka pencapaian ketahanan pangan di Indonesia dengan melibatkan perempuan? Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah dengan menghapus semua peraturan-peraturan dan praktik-praktik yang mendiskriminasi perempuan dalam mengakses sumber daya alam (pertanian) misalnya lahan, bibit, ataupun pupuk.

Langkah kedua adalah, memberikan akses kepada perempuan untuk dapat mengakses kredit yang dapat digunakan untuk mengembangkan produksi pangan dan pertanian. Kenyataan yang berkembang saat ini adalah, banyak kredit yang akan diakses oleh perempuan, harus mensyaratkan laki-laki sebagai penentu pencairan kredit tersebut.

Langkah ketiga adalah mengembangkan kapasitas perempuan dalam hal produksi pangan, misalnya lewat pelatihan-pelatihan dan workshop. Untuk diketahui, produksi pangan terdiri dari beberapa aktivitas yang saling terkait, yaitu budidaya tanaman pangan, pengadaan pangan, pengumpulan dan penukaran produksi pangan, persiapan dan pengolahan pangan, hingga ke distribusi pangan. Hampir semua aktivitas ini dapat dikerjakan oleh perempuan. Karena itulah, dengan pelatihan-pelatihan ataupun workshop, kapasitas (pengetahuan) perempuan pun semakin meningkat.

Tujuan akhir dari ketahanan pangan adalah meningkatnya kesejahteraan manusia. Salah satu indikatornya adalah terpenuhinya hak seseorang atas pangan. Pemberdayaan perempuan dalam pencapaian ketahanan pangan ini bukanlah bermaksud mengesampingkan peran laki-laki. Hanya saja, perlu menjadi perhatian semua pihak, bahwa perempuan adalah subjek yang tidak bisa dianggap sebelah mata dalam proses pencapaian ketahanan pangan.(*)

Penulis adalah mahasiswa Fakultas Pertanian Unika Santo Thomas Medan. Anggota Komunitas Menulis Mahasiswa Unika Santo Thomas “Veritas”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar